Sebenarnya, belum lama ini, aku ngeberesin paruh kedua adaptasi anime Fate/Zero.

Kayak yang mungkin kebanyakan orang sudah tahu, seri ini adalah prekuel seri Fate/stay night, game visual novel legendaris yang dulu dikembangkan TYPE-MOON. Anime ini diadaptasi dari seri novel berjudul sama buah karya penulis Urobuchi Gen, yang dibikin di bawah pengawasan pencipta asli seri ini, Nasu Kinoko.  Desain karakter orisinilnya dibuat oleh Takeuchi Takashi. Lalu versi animenya dibuat oleh studio Ufotable, yang sebelumnya juga menarik perhatian sesudah mereka membuat versi anime dari seri novel Kara no Kyoukai yang juga dibuat Nasu-sensei.

Anime ini pertama mengudara pada bulan Oktober tahun 2011 dan berjumlah total 24 episode. Ada jeda waktu satu season antara episode 13 dan 14 (yang konon diambil untuk memperbaiki kualitas animasi), dengan paruh keduanya mulai mengudara pada bulan April sampai pertengahan Juni 2012.

Musiknya, tentu saja, ditangani oleh Kajiura Yuki (Grup paduan suara Kalafina terlibat kembali dalam proyek ini). Sutradaranya Aoki Ei, dan naskahnya dikerjakan bersama oleh Yoshida Akihiro, Hiyama Akira, Sato Kazuharu, dan Miyajima Takumi. (Apa mereka orang-orang TYPE-MOON ya?)

Return to Zero

Aku sebenarnya pernah membahas soal versi novelnya. Jadi daripada soal cerita, aku akan langsung ke lain-lainnya saja.

Versi anime Fate/Zero berkesan bukan cuma karena aspek presentasinya yang kuat, tapi juga karena hasil adaptasinya memang termasuk salah satu adaptasi dari novel ke anime paling bagus yang aku tahu.

Visualnya yang keren banyak mengingatkan akan ketajaman warna dan efek yang banyak digunakan dalam versi anime Kara no Kyoukai. Nuansanya memang sedikit berbeda. Bila Rakyou menampilkan kesan urban penuh bangunan yang agak mistis dan suram, Fate/Zero dengan caranya tersendiri memberi kesan ‘tegang’ dan ‘berat’ yang lumayan sesuai dengan tema perjuangan dan pengharapan yang seri ini usung. Kedua seri sama-sama berlatar di dekade tahun 90an (saat Bill Clinton masih berkuasa sebagai presiden Amerika). Tapi ada lebih banyak permainan sihir di Fate/Zero, dan karena itu kesan fantastisnya lebih terasa.

Latar dunianya di kota Fuyuki nampaknya telah terdesain dengan apik. Ada nuansa coklat kekuningan yang banyak mengingatkan orang akan senja. Kita bahkan sampai bisa kayak ngebayangin semacam peta di kepala tentang bentuknya yang terpisahkan oleh sungai menjadi dua distrik Miyama dan Shinto, yang masing-masing darinya merupakan akulturasi dari budaya tradisional dan budaya Barat yang lebih modern.

Aspek audionya keren, dan berperan jauh lebih penting dari yang selintas kukira.

Paruh pertama seri ini menampilkan semacam ensemble cast, di mana masing-masing pasangan Servant dan Master sama-sama memiliki peranan dan kepentingan mereka sendiri-sendiri.  Pada paruh kedua, baru ceritanya berpusar pada pribadi Emiya Kiritsugu beserta orang-orang di sekitarnya. Lalu hal ini kayak tercermin gitu dari lagu-lagu yang dipilih sebagai pembuka dan penutup.

Para Servant dan Master yang jumlahnya banyak kayak mendapat porsi perkenalan mereka satu per satu di animasi-animasi penutup dan pembuka. Lalu baru sesudah memasuki paruh kedua, nuansa perjuangan dan pengharapan yang kusebutkan tadi terangkat dengan frame-frame animasi yang banyak menampilkan masa lalu Kiritsugu serta awal mula kedekatannya ia dengan istrinya, Irisviel von Einzbern.

Hasil akhirnya beneran keren. Lagu ‘Sora wa Takaku, Kaze wa Utau’ yang dinyanyikan Haruna Luna kerasa kayak nonjok aku di perut karena seakan membalut segala sesuatu yang hendak disampaikan di seri ini.

Ditambah lagi, semua pengisi suaranya emang berperan secara keren. Mereka-mereka yang sebelumnya mengisi suara dalam adaptasi anime Fate/stay night kembali memainkan peran masa lalu karakter-karakter mereka di seri ini. Koyama Rikiya yang berperan minor sebagai Kiritsugu di Fate/stay night tampil menonjol sebagai Kiritsugu sang karakter utama di Fate/Zero. Demikian pula Nakata Joji sebagai Kotomine Kirei. Perlu kutambahkan lagi, baik Kiritsugu maupun Kirei di Fate/Zero sama-sama merupakan karakter agak berbeda dibandingkan saat mereka tampil di Fate/stay night. Kiritsugu masih seorang pembunuh berdarah dingin dan belum jadi sosok ayah angkat ramah seperti di pembukaan Fate/stay night, sedangkan Kirei adalah seseorang yang pada awalnya semata-mata hanya sekedar merasa ‘kosong’. Tapi kedua peranan tersebut dan perkembangan karakter yang kemudian keduanya alami sama-sama berhasil dibawakan dengan begitu pas.

Singkat kata, dari segi presentasi, seri ini benar-benar keren (aku engga tau udah berapa kali aku ngulang kata ini) dan hampir-hampir enggak ada cacatnya. Semua desain karakter Takeuchi-sensei berhasil dihidupkan secara baik dan semua adegan pertarungan dan aksinya juga tertata secara apik.

Maka dari sana, berhubung aku sudah namatin seri ini dan kini memahami perasaan orang-orang lain yang juga menamatkannya, ada baiknya aku ngebahas sejumlah hal tersisa yang mungkin bagi beberapa orang masih agak bikin penasaran.

Untuk Dunia di Mana Tak Ada yang Menangis

Sebenarnya, mungkin karena masalah budaya juga. Tapi ngedalamin dunia imajiner yang dibikin oleh Nasu-sensei ini sebenarnya enggak selalu bisa dibilang nyaman.

Tapi berikut tetap kudaftarkan sejumlah hal tertentu yang mungkin patut dicatat sesudah melihat versi anime Fate/Zero. Di dalamnya ada beberapa trivia seputar lore-nya, sebatas yang sejauh aku tahu dari bertahun-tahun mengikuti perkembangan waralabanya semenjak pertama melihat Shingetsutan Tsukihime. (Tentu aja, di dalamnya ada spoiler-spoiler bagi kalian yang belum pernah menontonnya.)  

  • Versi novel Fate/Zero menampilkan darah dan kekerasan lebih banyak ketimbang versi animenya. Adegan-adegan aksinya di novel juga dijabarkan dengan lebih ekstensif dan terinci.
  • Dalam versi novel, upaya Tohsaka Rin untuk menyelamatkan Kotone tak membuahkan hasil.
  • Pria tak dikenal yang Kiritsugu interogasi di kediaman Matou menjelang akhir cerita adalah Matou Byakuya, kakak kandung Matou Kariya (yang menjadi Master dari Berserker), serta ayah kandung Matou Shinji yang memiliki bakat sihir lebih rendah dari Kariya. Dialah yang berperan sebagai kepala keluarga Matou di depan umum. Pada titik ini, Shinji dikisahkan sedang menjalani studi ke luar, sedangkan nasib istri Byakuya lebih baik tak kusebutkan.
  • Kali-kali bagi beberapa orang masih belum jelas, Irisviel adalah ‘manusia buatan’ yang merupakan prototipe homunculus buatan keluarga Einzbern. Sekalipun dirinya tak terbunuh, bila sudah ada lima Servant tewas, kesadaran Irisviel tetap akan sirna, dan jasadnya akan mewujud menjadi bentuk fisik Cawan Suci. Anaknya bersama Kiritsugu, Ilyasviel, telah ditakdirkan menjalani nasib yang sama, sebagaimana yang kemudian terjadi dalam Fate/stay night.
  • Sosok Irisviel yang berdialog dengan Kiritsugu pada klimaks cerita adalah perwujudan dari Angra Mainyu, personifikasi dari ‘segala kejahatan di dunia’ yang telah mengkorup Cawan Suci dalam Perang Cawan Suci yang ketiga. Lebih lanjut tentangnya pertama dibahas dalam game sekuel Fate/hollow ataraxia. Tapi sedikit rinciannya akan aku singgung lagi di bawah.
  • Salah satu Noble Phantasm dari Servant Berserker milik Matou Kariya berupa kabut hitam yang membuat statistiknya sebagai Servant tak terbaca oleh para Master lain. Dalam cerita, digambarkan dengan bayaran satu Command Seal, Berserker dapat menggunakan kabut ini untuk mengubah sosoknya menjadi orang lain. Tapi kemampuan ini sebenarnya adalah bawaan miliknya sendiri; dan seandainya Lancelot dipanggil dalam kelas Servant lain selain Berserker, dirinya akan bebas mengubah wujudnya menjadi seperti siapapun yang ia mau. Kabut ini, bersama kemampuan Berserker untuk mengubah segala macam benda menjadi senjata sekelas Noble Phantasm, dengan sendirinya sirna saat ia menggunakan Noble Phantasm terakhirnya (yang berupa pedang Arondight) dalam duel terakhirnya melawan Saber.
  • Kutukan Lancer terhadap Cawan Suci sesaat sebelum dirinya terbunuh secara menyeramkan memang menjadi nyata. Namun alasan korupnya Cawan Suci sebenarnya berhubungan dengan sejarah masa lalu ritual ini sendiri. Lebih lanjut soal ini akan kusinggung di bawah.
  • Servant Assassin yang dimiliki Kirei terkesan terdiri atas banyak orang karena identitas Hassan il Sabbah yang dimiliki Asssassin pada Perang Cawan Suci ketiga ini dipegang oleh seseorang yang upayanya menyamarkan identitas dirinya berujung pada suatu kasus kepribadian berganda.
  • Meski disebutkan dapat mengabulkan permohonan apapun, tujuan sesungguhnya ritual Perang Cawan Suci, atau yang juga dikenal sebagai Heaven’s Feel, diprakarsai oleh tiga keluarga besar Einzbern, Tohsaka, dan Makiri; adalah untuk membuka jalan menuju Akasha. Akasha juga dikenal sebagai ‘awal mula segala hal’ dan menjadi tujuan akhir setiap penyihir (seperti di Kara no Kyoukai). Lalu motivasi utama pihak Einzbern untuk menjangkau Akasha sesungguhnya adalah demi memperoleh kembali Sihir Ketiga (‘materialisasi dari roh’, salah satu dari beberapa jenis sihir yang dipandang adalah sihir ‘sesungguhnya’) yang telah hilang dari mereka.
  • Cara kerja Cawan Suci kira-kira begini: para roh pahlawan legendaris dipanggil ke dunia dari Tahta Pahlawan (‘Throne of Heroes’) untuk menjadi Servant. Tahta Pahlawan merupakan semacam dimensi utopia yang tak mengenal konsep waktu, yang menjadi tempat para Pahlawan dalam berbagai legenda berpulang sesudah kematian mereka.  Sesudah mereka terpanggil kembali ke dunia sebagai Servant, mereka memperoleh pengetahuan mendasar tentang zaman dan peradaban terkini secara alami, dan akan saling bertempur dalam Perang Cawan Suci. Bila ada Servant gugur, roh mereka alaminya akan kembali ke Tahta Pahlawan; tapi artefak Cawan Suci yang tengah dibentuk ini akan ‘menampung’ roh-roh ini terlebih dahulu. Energi yang terkumpul bersama proses kembalinya mereka tersebutlah yang akan digunakan sebagai media untuk mengabulkan permohonan.
  • Artefak Cawan Suci, meski belum mewujud secara fisik, sebenarnya sudah bisa mengabulkan permohonan bila ada lima Servant yang telah gugur (Ini alasan mengapa Kiritsugu dikontak olehnya di tengah-tengah duelnya dengan Kirei). Namun untuk membuka jalan ke Akasha, energi tujuh Servant akan tetap diperlukan. Sehingga dengan kata lain, sasaran sesungguhnya bukan soal menjadi pasangan Servant-Master yang bertahan hidup hingga akhir; melainkan untuk membantai tujuh orang Servant agar energi yang terkumpul sesudah mereka tewas bisa digunakan untuk membuka jalan ke Akasha. (Ini juga alasan mengapa Archer (Gilgamesh) menyepakati usulan Kirei untuk mengkhianati Tohsaka Tokiomi.)
  • Seri Fate/Zero menegaskan bahwa dari sudut pandang tertentu, Emiya Shirou (karakter utama di Fate/stay night) dan Ilyasviel ternyata memang adalah kakak beradik.
  • Dalam Fate/stay night, sesudah menjadi Servant dari Shirou, Saber berkata kalau dirinya tak terlalu mengenal Emiya Kiritsugu secara pribadi, dan berbicara dengannya bahkan hanya sebatas tiga kali. Urobuchi-sensei menyiasati hal ini dengan membuat karakter Irisviel sebagai perantara komunikasi antara Kiritsugu dan Saber.
  • Dalam Fate/stay night, Saber tak mengenali siapa Ilya karena sepanjang hubungannya dengan Iri, Iri tak pernah sekalipun menyebut siapa nama anaknya ataupun memperlihatkan fotonya. Saber menyangka Ilya sebagai homunculus lain buatan keluarga Einzbern yang tak ada sangkut pautnya dengan Kiritsugu dan Iri.
  • Masih soal Saber, di Fate/stay night dijelaskan kalau Saber sebenarnya Servant ‘tak sempurna’ karena sudah dipandang sebagai figur pahlawan legendaris bahkan sebelum dirinya meninggal. Itu alasan kenapa di akhir cerita, dirinya bukannya kembali ke Tahta Pahlawan, melainkan kembali ke Camlann di mana pasukannya berhadapan dengan pasukan Mordred, sebelum ia terpanggil lagi sebagai Servant dalam kelanjutan cerita di Fate/stay night.
  • Adegan terbunuhnya Tokiomi sebenarnya merupakan salah satu adegan paling ironis di sepanjang seri, karena ada perkembangan cerita serupa dengannya dalam salah satu rute cerita di Fate/stay night.
  • Lebih banyak tentang kaum Dead Apostle dan para vampir lainnya, yang diteliti ayah Kiritsugu, dibahas lebih jauh dalam seri Tsukihime dan Melty Blood.
  • Sejarah ritual Perang Cawan Suci dimulai dari tahun 1800an, dengan tiga pihak di atas sebagai pemrakarsa. Einzbern menyediakan ‘wadah’ untuk Cawan, Tohsaka menyediakan tanah Fuyuki sebagai prasarana yang menyalurkan jalur-jalur sihir bumi secara alami, dan Makiri (yang kemudian berganti nama menjadi Matou) yang menyediakan sistem pemanggilan Servant dan Command Seal. Tapi format ritual tersebut berubah sesudah didapati bahwa yang dapat mengambil manfaat Cawan Suci hanya satu pihak. Akibat perbedaan keyakinan antar mereka soal metode untuk mencapai Akasha, persekutuan antara ketiga keluarga di atas terpecah; walau mereka tetap sepakat soal sistem yang akan digunakan dan mereka baru akan saling bersaing sesudah Cawan Suci mulai dipanggil. Pihak-pihak luar juga jadi harus dilibatkan sehubungan dengan jumlah Servant yang harus dipanggil sebanyak tujuh; keyakinan bahwa Cawan Suci sanggup mengabulkan permohonan apapun mulai menyebar.
  • Diperlukan waktu sampai jalur-jalur energi bumi mengumpulkan energi yang diperlukan untuk pembentukan/pemanggilan Cawan Suci. Makanya ada interval-interval waktu dalam jarak tak tentu antar satu Perang Cawan Suci dengan yang lainnya.
  • Karena sistemnya baru terbangun, Perang Cawan Suci pertama di awal 1800an menjadi lebih seperti pertengkaran dibandingkan perseteruan. Pihak-pihak luar yang diundang untuk terlibat malah berupaya memanfaatkan upacara pemanggilan ini untuk kepentingan mereka pribadi. Perang ini konon berakhir sebelum Cawan Suci sempat terbentuk. Lokasi pemanggilan Cawan Suci di Kuil Ryuudou di Gunung Enzou.
  • Perang Cawan Suci kedua di tahun 1860an berujung menjadi ajang saling bunuh secara terbuka; dan semua peserta pada akhirnya terbunuh tanpa ada yang tersisa. Sebagai tanggapan atas hasil ini, tiga keluarga besar mengajukan keterlibatan pihak Gereja (yang umumnya berseberangan dengan para penyihir) sebagai pihak yang akan menjadi ‘wasit.’ Lokasi pemanggilan Cawan kali ini adalah kediaman keluarga Tohsaka.
  • Perang Cawan Suci ketiga berlangsung di tahun 1930an, menjelang Perang Dunia II. Pihak Nazi dan Kekaisaran Jepang konon turut terlibat dalam konfliknya. Sebagai reaksi atas kekalahan mereka yang beruntun, pihak Einzbern melakukan kecurangan pada sistem pemanggilan, dalam upaya memanggil sosok dewa Zoroaster Angra Mainyu yang menempati kelas baru, Avenger, yang menggantikan kelas Berserker. Tapi Avenger ternyata Servant yang lemah, dan dengan segera tersingkir dalam persaingan. Sifat Avenger yang mewakili segala bentuk kejahatan ini yang kemudian ‘menodai’ Cawan Suci, membuatnya hanya bisa mengabulkan permohonan melalui kematian dan penghancuran, dan memungkinkan dipanggilnya Servant-Servant lain yang ‘ambigu’ kepahlawanannya dalam babak-babak Perang Cawan Suci selanjutnya, seperti Caster (Gilles De Rais) dan Assassin (Hassan i-Sabbah).
  • Dalam Perang Cawan Suci ketiga, sebagaimana disinggung dalam Fate/hollow ataraxia, ada dua peserta bersaudara dari keluarga penyihir Edelfelt yang karena kekhasan sihir mereka, sama-sama memanggil Servant dari kelas Saber. Keduanya dikalahkan oleh peserta dari pihak Tohsaka, dengan satu tewas(?) dan satu lagi disumpahi untuk tak menginjak Jepang lagi. Konon, ini awal mula permusuhan antara keluarga Tohsaka dan keluarga Edelfelt (walau awal permusuhan antara Rin dan Luvia di Fate/Kaleid Liner Prisma Ilya kelihatannya agak beda…).
  • Terlepas dari besarnya konflik yang terjadi, Perang Cawan Suci ketiga kembali berakhir dengan sia-sia akibat hancurnya Cawan Suci di tengah-tengah pertempuran. Sebagai tanggapan atas ini, pihak Einzbern merasa perlunya ada naluri pertahanan diri yang diberikan pada wadah, yang berujung pada penciptaan para homunculus ‘berkepribadian’ seperti Irisviel. Lokasi pemanggilan kali ini adalah di suatu tempat di Fuyuki yang kemudian berkembang menjadi distrik Shinto.
  • Lebih banyak tentang Avenger, Angra Mainyu, dan dendamnya terhadap dunia dipaparkan dalam Fate/hollow ataraxia. Fate/Zero sebenarnya dibuat pada waktu yang kurang lebih sama dengan saat Fate/hollow ataraxia tengah dikerjakan. Sehingga keberhasilan Urobuchi-sensei memaparkan sifat Angra Mainyu pada klimaks Fate/Zero diakui orang-orang TYPE-MOON sebagai kebetulan yang ajaib, karena hal tersebut malah belum terungkap selama pembuatan Fate/hollow ataraxia.
  • Sesudah ternoda oleh Angra Mainyu, Cawan Suci selalu berupaya untuk bisa ‘lahir’ dan sekaligus membawa kehancuran atas dunia. Hal ini kelihatannya berhubungan dengan bagaimana di penghujung cerita ia menjadikan Kirei dan Archer ‘abadi’ sebagai bidaknya.
  • Untuk mengantisipasi kemungkinan sangat kecil seandainya ketujuh Servant tak saling bertarung, tapi malah bersekutu dengan satu sama lain, sebenarnya ada suatu sistem cadangan yang memungkinkan pemanggilan tujuh orang Servant tambahan dengan menguras habis pasokan energi di tanah bersangkutan. Kasus ini yang kemudian disorot dalam cerita seri novel Fate/Apocrypha, dengan total jumlah Servant-Master sebanyak 14 pasangan.
  • Meski berseberangan dengan gurunya selama masa Perang Cawan Suci, Kayneth Archibald El Melloi (Master dari Lancer), Waver Velvet (Master dari Rider) dianggap menjaga nama besar keluarga penyihir El Melloi karena berhasil bertahan hidup, sehingga ia kemudian dinobatkan dengan gelar Lord El Melloi II. Berlakangan dirinya menjadi salah satu guru Tohsaka Rin di Mage’s Association.
  • Dengan rute Heaven’s Feel sebagai pengecualian, sepuluh tahun sesudah kemenangan Shirou di akhir Fate/stay night, Lord El Melloi II bersama Rin kembali ke Fuyuki untuk menghancurkan formasi Cawan Suci Besar di Gunung Enzou yang menjadi fondasi penciptaan Cawan Suci. Meski mendapat pertentangan dari sejumlah penyihir Mage’s Association lain, mereka berhasil menuntaskan misi mereka, dan dengan demikian sekaligus mewujudkan pengharapan terakhir Kiritsugu sebelum ia meninggal untuk mencegah Perang Cawan Suci berlangsung kembali.

Yasashii Uta

Buat yang ngikutin novelnya tapi enggak ngikutin animenya sama sekali, cerita di animenya terputus saat tokoh Caster dan Uryuu Ryunosuke menciptakan makhluk raksasa dari dasar sungai. Memang terasa banget gimana paruh awal cerita masih merupakan semacam pendahuluan (meski tetap seru sih); dengan kebanyakan intisari cerita adanya di paruh kedua. (Ditambah adanya sejumlah masalah pacing lain…)

Di samping soal eksekusinya sendiri, yang paling memikat dari Fate/Zero buatku adalah bagaimana Kiritsugu melampaui segala bayangan buruk yang mungkin akan menimpanya dan melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia memang membayar mahal atas semua tindakannya. Tapi di penghujung cerita, dia tetap dengan segala cara kayak berusaha melakukan semacam penebusan, dan buatku, seriusan, itu sesuatu yang bener-bener keren.

Itu bukan sesuatu yang bisa dengan gampangnya kulakukan sendiri, seenggaknya.

Fate/Zero di ujung-ujungnya akhirnya malah jadi sesuatu yang kebagusannya melampaui Fate/stay night. Maka dari itu, kebanyakan orang menyarankan untuk mengikuti Fate/stay night dulu sebelum mengikuti Fate/Zero. Di samping itu, mengingat sifat cerita Fate/stay night sebagai game yang terbagi atas tiga rute, memang agak susah memperbincangkan soal makna kesudahan cerita Fate/Zero. Tak ada rute yang mencakup elemen-elemen ceritanya secara menyeluruh sih.

Tapi belakangan beredar ada kabar kalau panitia pembuat anime ini mempertimbangkan dibuatnya suatu proyek animasi Fate/stay night yang baru. Mungkin mereka mempertimbangkan dampak dari kesuksesan Fate/Zero. Jadi aku enggak bisa enggak membayangkan kalau kita mungkin saja akan mendapatkan suatu cerita Fate/stay night yang orisinil dan sama sekali baru.

Yah, moga-moga aja itu terwujud.

Penilaian

Konsep: A-; Visual: A+; Audio: A+; Perkembangan: A-; Eksekusi: B+; Kepuasan Akhir: A+

(Sumber kebanyakan dari TYPE-MOON Wikia)

12 tanggapan untuk “Fate/Zero”

  1. Review yg bagus sya jg ga ngeliat cacatnya anime adaptasi yg ini. Haunted bgt. Bikin merinding.

    1. Sebenernya kudenger konsepnya yang rumit pada beberapa titik sempet bikin pacingnya terkendala sih. Tapi ceritanya segitu bagusnya sehingga belakangan ga jadi masalah.

      (Yoo. Lama ga ada kabar.)

  2. Saya merasa pace adaptasinya mendekati akhir agak berantakan. Berhubung saya udah lebih dahulu baca novelnya sebelum nonton adaptasi ini saya cukup kecewa dengan battlenya Saber vs Berserker yang ditunjukkan seadanya saja di anime. Yah tak ada gading yang tak retak.

    1. Aku setuju. Pertempuran antara Saber lawan Berserker itu mestinya klimaks kayak Kiritsugu lawan Kirei. Aku agak ngerasa karena adegan itu idealnya mestinya ada satu episode lagi.

      Tapi, yah, pace is a sensitive thing.

  3. novelnya masih ada di Indonesia???
    penasaran pengen baca…..
    tp memang keren ceritanya 🙂

    1. Terjemahan bahasa Indonesia novelnya masi ada di situsnya. (tapi terakhir aku periksa masih belum terlalu jauh)

      1. bisa bagi situsny?/???

  4. gan untk cerita yang perang ketiga dan sblmnya drmna gan?

    1. Aku pertama nemu soal itu di artikel soal Perang di Type Moon Wiki.

      Kemungkinan gede itu diulas dalam game Fate/Hollow Ataraxia, tapi aku belum yakin soalnya aku sendiri belum main.

  5. review yang bagus gan,

Tinggalkan Balasan ke Ichad Batalkan balasan

Sedang Tren